Kamis, 16 Desember 2010

PEMBERLAKUAN PAJAK kepada PEDAGANG WARTEG

Sumber : MI (MEDIA INDONESIA)

Pemerintah Memberlakukan PAJAK kepada Pedagang WARTEG

Pemilik dan konsumen warung tegal (warteg) resah. Pasalnya Pemerintah Provinsi(Pemprov) Jakarta mulai memberlakukan pajak restoran sebesar 10 persen terhadap warteg.

Warteg diusulkan akan dijadikan obyek pajak dari sektor pajak untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Ani,seorang pedagang warteg di daerah Semper mengatakan sangat keberatan dengan aturan tersebut. Ia menganggap Pemprov DKI telah semena-mena terhadap rakyat kecil.
Penghasilan kotor saya paling besar Rp600 ribu per hari, sementara anak saya ada tiga. Kami saja sudah miskin, masa mau dimiskinkan lagi,jawab Ani sengit kepada Media Indonesia, Kamis (2/12).

Hal senada diungkapkan oleh Ali,pemilik warteg di daerah pemukiman padat, Koja. Menurut ayah dua anak ini, penghasilannya hanya cukup buat makan sehari-hari keluarganya. Itu sama saja membunuh kami. Selama ini kami berdagang juga tidak gratis kok, ada iuran kebersihan yang disetor kepada RT/RW. Belum lagi pungli-pungli yang tidak jelas, jelasnya.

Menurut Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Arif Susilo, pemberlakuan pajak warteg sebesar 10 persen karena jenis usaha ini sudah masuk dalam prasyarat obyek pajak.
Aturan itu ada di Undang-Undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Obyek pajak yang masuk dalam wajib pajak itu adalah usaha penyedia makanan dan minuman yang memiliki penghasilan Rp60 juta per tahun atau Rp167 ribu per hari.

Ketua Umum Koperasi Warung Tegal (Kowarteg) Sastoro meminta Pemprov DKI supaya membatalkan pengenaan pajak 10% untuk warung Tegal (Warteg), pedagang makanan dan minuman lainnya.

"Saya lihat kategorinya tidak masuk nominasi. Sebab, yang dijelaskan itu restoran dan rumah makan," ujar Sastoro di Jakarta, Jumat (3/12).

Menurut dia, di Jakarta saat ini ada 26 ribu warteg. Kondisinya sekarang sangat berbeda dengan warteg di era tahun 80 atau 90-an. Sekarang perkembangan warteg bukan positif lagi, tapi negatif.
Karena keuntungan menipis, bahan baku mahal, gaji karyawan pun tinggi. Belum lagi masalah kontrak lokasi yang terus naik.

"Dulu memang para pengusaha warteg ini punya rumah mewah. Sekarang boro-boro," katanya.
Untuk bayar kontrakan, gaji karyawan, dan beli bahan makanan saja sudah syukur. Paling-paling keuntungan dari omzet hanya 5%. "Sekarang ini malah ada yang jual warteg sambil ngojek dan jadi kuli," ujar Sastoro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar