Ketika Ibu Membawa Masa Lalu
Aku lebih suka menciptakan kisah masa
kanak-kanakku dengan indah, hingga aku mengubur segala kenangan pahitnya,
alhasil, aku sungguh-sungguh melupakan masa laluku.
***
Jika
kamu bertanya bagaimana diriku, maka akan kudeskripsikan bagaimana aku, aku
wanita dewasa, mandiri, menarik. Jangan tanyakan usia, karena itu adalah
pertanyaan yang membuat sensitif bagi wanita manapun, aku cukup matang untuk
menikah, dan akan menikah sebentar lagi dengan sepupuku, ini jaman modern,
menikahi keluarga sendiri memang terdengar seperti perjodohan yang menyedihkan,
dimana si cewek terlalu putus asa karena tuntutan usia, dan para keluarga
memaksakan adanya perayaan. Sejujurnya, ini bukan perjodohan, aku dan sepupuku
saling jatuh cinta itu saja. Tidak melanggar hukum adat maupun hukum alam,
menikahi saudara sepupu tidak termasuk incest,
kan?
Hari-hari
ini aku disibukkan oleh pekerjaan yang melelahkan, menyelesaikan yang harus
diselesaikan sebelum aku memasuki masa cutiku (aku adalah Head of Public Relations di salah satu Hotel bintang lima terkenal) juga oleh
persiapan pernikahanku, belum lagi acara makan malam keluarga nanti malam dan
juga, astaga aku lupa, aku harus menemui ibuku sekarang, driver-ku sudah menjemputnya dari airport dan sekarang aku harus menemuinya di apartement-ku. Ada rasa aneh dan canggung saat aku harus menemui
ibu, wanita yang melahirkan aku.
Beliau
duduk di sana, terlihat anggun dan bijaksana, duduk tenang di sofa ruang
keluarga “Apa kabar nak?” sapanya hangat, aku mencium tangannya lalu kedua
pipinya, aromanya, hangat, berbau alami kayu manis, cendana, dan mawar. Aku
duduk disampingnya, beliau memelukku.
Aku
tersenyum padanya, menatap jauh ke dalam matanya, berapa lama kami tak
berjumpa? Yang kutahu, aku pergi begitu saja dengan salah satu kerabat Ayah,
yang sekarang kupanggil Papa dan Mama, mereka mengangkatku sebagai anak, dan
jadilah aku sebagai anak bungsu dari dua kakak laki-laki.
Kurasa
jawaban ‘baik’ tak cukup mewakili rentang perjalanan waktu yang terlewati
antara kami, tapi aku tak punya jawaban lain.
“Baik
bu, ibu apa kabar?” aku menggenggam tangan beliau, sedikit kasar pada
telapaknya, menunjukkan bahwa beliau pekerja keras. Berbanding terbalik dengan
tanganku yang kuku-kukunya dirawat oleh teknik perawatan kuku ala Prancis, manicure, hal yang wajib kulakukan di
akhir minggu, bersamaan dengan perawatan memanjakan diri lainnya yang disukai
para wanita.
Beliau
tak menjawab hanya menatapku dalam tatapan teduh seorang ibu, aku tau beliau
sangat merindukanku walau harus kuakui aku tak terlalu rindu, kadang aku bahkan
nyaris melupakan wajah beliau, walaupun harus kuakui aku mewarisi wajah ini
dari dirinya.
“Nak”
Itulah yang dikatakannya sebelum terhenti dan membiarkan air matanya mengalir
di pipi. “Kamu sudah dewasa” serasa tak percaya, beliau mengulangi lagi,
kalimat itu. “Kamu sudah dewasa.” Yang kulakukan hanya tersenyum dan mengangguk
kaku.
“Kamu
akan menikah…”
Aku
mengangguk lagi dan tersenyum
“Ibu
bangga padamu nak…”
Aku
tersenyum dan merasa bahwa bayangan beliau sedikit bergoyang, seperti
pemandangan terhalangi kaca berembut kala hari hujan.
“Ibu
senang melihatmu, nak” Beliau mengusap rambutku dan bersenandung kecil, lagu
masa kecilku, yang sejujurnya sudah kulupakan, aku tak lagi mengingat masa-masa
lalu, saat aku masih tinggal dengan ibu di kota kecil tempat kelahiranku dulu.
Sejujurnya aku sendiri yang mengubur memori itu dan menciptakan kenangan baru,
yang lebih menyenangkan dan lebih indah.
“Kamu
akan menikahi kakakmu, nak” ada sela tawa entah bahagia atau hanya ingin
membuatku senang. Dalam konsep ibuku, sepupu itu adalah seperti kakak sendiri,
dan yah aku memanggil calon suamiku hingga kini dengan sebutan kakak. Kak Diaz.
Aku
mengangguk, entah bagaimana aku tak bisa membuang rasa canggung ini.
“Masih
ada dalam kenangan ibu saat kamu kecil dulu, kamu dan kakakmu itu sering
bermain-main di halaman belakang rumah nenekmu, kamu akan tertawa-tawa dan pulang
dalam keadaan menangis, kakakmu itu memang paling suka menggodamu.”
Aku
memutuskan untuk tertawa kecil, kurasa itu akan terdengar lucu tapi tak begitu
menurut ibuku.
“Ibu
masih ingat nak, saat kamu ketakutan, kakakmu bandel, menakuti-nakutimu dengan
capung dan belalang, yang barusan ditangkapnya dengan teman-teman nakalnya.
Kamu selalu di samping ibu, duduk diam sambil menyanyi, kita menyanyi
bersama-sama ya nak, masih ingat lagu kesayanganmu?” jujur aku tak ingat “
ambilkan bulan bu, ambilkan bulan bu …yang selalu bersinar di langit…” ibu
menyanyi dengan parau. Aku ingin melanjutkan nyanyiannya, tapi entah mengapa
tak bisa terucap di lidahku, kupikir masa kecilku dulu, aku lebih akrab
menyanyikan lagu lainnya, seperti; Its Raining Its Pouring, My Bonnie, atau Old
MacDonald juga BINGO. Sejujurnya itu adalah lagu yang sering kudendangkan saat
aku telah pergi dari ibu. Saat aku bersama keluarga baruku.
“Masih
ingat nak, apa yang ibu lakukan sambil kita bernyanyi bersama? Ibu membersihkan
beras tante Novi, calon ibu mertuamu itu, menjahitkan baju-bajunya yang sobek, membersihkan
biji-biji kapuk dari bantal dan kasurnya, bahkan menumbuk kopi tradisional, Om
mu memang suka kopi jahe kampung. Ibu sering terkenang nak, bagaimana kita
dulu, agar bisa makan. Mesti bekerja untuk keluarga sendiri, ayahmu terlalu
cepat pergi jadi ibu sendiri membesarkanmu, untung Om Agung sayang padamu nak,
sekarang kamu jadi orang sukses nak, ibu bangga” beliau mengangkat kerah
bajunya untuk mengapus air mata.
“Alhamdulilah,
kita tak lagi terhina nak.” Beliau mengelus pipiku menatap dalam pada mataku.
“Terima kasih sudah buat ibu bangga” dia menangis, tak sanggup menatap matanya
yang tergenang cairan kesedihan. Aku bangkit dari sofa dan berlari menuju
kamar. Aku mengenang segalanya sekarang, saat ibuku harus seperti pembantu di
rumah saudara iparnya, bagaimana tanteku memerintahnya seakan beliau manusia
tanpa lelah, bagaimana Kak Diaz akan merecoki ibuku dengan membuatku menangis,
bagaimana…sejujurnya tak ingin kukenang, telah kulupakan segalanya, tak lagi
ingin menengok ke belakang. Tapi bayangan itu seolah datang dan memberitahuku
bagaimana pahitnya masa laluku. Kupandangi fotoku dan kak Diaz yang tertawa bahagia-lepas
dalam figura kayu mengkilat, entah mengapa, kini, kenangan masa kecil itu mengaburkan
tawa bahagia di sana, tak bisa kuputuskan memilih yang mana. Apa aku harus
kembali mengenang masa lalu dan mempertimbangkan masa depanku ataukah seperti
dulu, berpura-pura, selamanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar