ETIKA BISNIS DALAM ISLAM
Nama : Dinny Hardiyanti
Kelas : 4 EA 13
NPM : 19210799
Salah satu kajian penting dalam Islam adalah
persoalan etika bisnis. Pengertian etika adalah a code or set of
principles which people live (kaedah atau seperangkat prinsip yang
mengatur hidup manusia).
Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara
rasional dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral
berbeda dengan etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan
buruk, sedangkan etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa
sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada
tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk
apa alasan pikirannya, merupakan lapangan etika. Salah satu kajian etika yang
amat populer memasuki abad 21 di mellinium ketiga ini adalah etika bisnis. DIKOTOMI
MORAL DAN BISNIS.
Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Maka tidak aneh bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang Ekonomi Klasik Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Di Indonesia Paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur di Indonesia, sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan barang, pengrusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan bank oleh para konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang didepan mata kita baik yang terlihat dalam media massa maupun media elektronik. Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi?. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free). Memasukkan gatra nilai etis sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, menurut kalangan ekonom seperti di atas, akan mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka masih bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral” Di sisi lain, etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Maka tidak aneh bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang Ekonomi Klasik Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Di Indonesia Paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur di Indonesia, sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan barang, pengrusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan bank oleh para konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang didepan mata kita baik yang terlihat dalam media massa maupun media elektronik. Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi?. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free). Memasukkan gatra nilai etis sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, menurut kalangan ekonom seperti di atas, akan mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka masih bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral” Di sisi lain, etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kebangkitan
Etika Bisnis Sebenarnya,
Di Barat sendiri, pemikiran yang mengemukakan bahwa ilmu ekonomi bersifat
netral etika seperti di atas, akhir-akhir ini telah digugat oleh sebagian
ekonom Barat sendiri. Pandangan bahwa ilmu ekonomi bebas nilai, telah tertolak.
Dalam ilmu ekonomi harus melekat nuansa normatif dan tidak netral
terhadap nilai-nilai atau etika sosial. Ilmu ekonomi harus mengandung penentuan
tujuan dan metode untuk mencapai tujuan. Pemikiran ini banyak dilontarkan oleh Samuel
Weston, 1994, yang merangkum pemikiran Boulding(1970), Mc Kenzie
(1981), dan Myrdal (1984).
Pada tahun 1990-an Paul Ormerof, seorang ekonom
kritis Inggris menerbitkan bukunya yang amat menghebohkan “The Death of
Economics", Ilmu Ekonomi sudah menemui ajalnya. (Ormerof,1994).
Tidak sedikit pula pakar ekonomi millenium telah menyadari makin tipisnya
kesadaran moral dalam kehidupan ekonomi dan bisnis modern. Amitas Etzioni
menghasilkan karya monumental dan menjadi best seller; The Moral
dimension: Toward a New Economics (1988). Berbagai buku etika bisnis
dan dimensi moral dalam ilmu ekonomi semakin banyak bermunculnan. Jadi,
menjelang millenium ketiga dan memasuki abad 21, konsep etika mulai memasuki
wacana bisnis. Wacana bisnis bukan hanya dipengaruhi oleh situasi ekonomis,
melainkan oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, teknologi,
serta pergeseran-pergeseran sikap dan cara pandang para pelaku bisnis atau ahli
ekonomi. Keburukan-keburukan bisnis mulai dibongkar. Mulai dari perkembangan
pasar global, resesi yang mengakibatkan pemangkasan anggaran PHK, enviromentalisme,
tuntutan para karyawan yang makin melampaui sekedar kepuasan material,
aktivisme para pemegang saham dalam perusahaan-perusahaan go public
atau trans nasional, kaedah-kaedah baru di bidang managemen, seperti Total
Quality Management, rekayasa ulang dan bencmarking yang menghasilkan
pemipihan hirarki dan empowerment, semuanya telah men¬ingkatkan
kesadaran orang tentang keniscayaan etika dalam aktivitas bisnis.
Contoh kecil kesadaran itu terlihat pada sikap para pakar ekonomi kapitalis Barat -yang telah merasakan implikasi keburukan strategi spekulasi yang amat riskan- mengusulkan untuk membuat kebijakan dalam memerangi spekulasi. Prof. Lerner dalam buku “Economics of Control”, mengemukakan bahwa kejahatan spekulasi yang agressif, paling baik bila dicegah dengan kontra spekulasi. Mereka tampaknya belum berhasil menyelesaikan krisis tersebut, meskipun mereka menanganinya dengan serius. Mungkin karena itulah Prof. Taussiq berusaha memecahkan masalah ini dengan memperbaiki moral rakyat. Ia dengan lantang berkomentar, “Obat paling mujarab, bagi kerusakan dunia bisnis adalah norma moral yang baik untuk semua industri”.
Contoh kecil kesadaran itu terlihat pada sikap para pakar ekonomi kapitalis Barat -yang telah merasakan implikasi keburukan strategi spekulasi yang amat riskan- mengusulkan untuk membuat kebijakan dalam memerangi spekulasi. Prof. Lerner dalam buku “Economics of Control”, mengemukakan bahwa kejahatan spekulasi yang agressif, paling baik bila dicegah dengan kontra spekulasi. Mereka tampaknya belum berhasil menyelesaikan krisis tersebut, meskipun mereka menanganinya dengan serius. Mungkin karena itulah Prof. Taussiq berusaha memecahkan masalah ini dengan memperbaiki moral rakyat. Ia dengan lantang berkomentar, “Obat paling mujarab, bagi kerusakan dunia bisnis adalah norma moral yang baik untuk semua industri”.
Pandangan-pandangan di atas menunjukkan, bahwa di
Barat telah muncul kesadaran baru tentang pentingnya dimensi etika memasuki lapangan
bisnis. Kecenderungan Baru Perusahaan-perusahaan besar, model abad
21, kelihatannya juga mempunyai kecenderungan baru untuk mengimplementasikan
etika bisnis sebagai visi masyarakat yang bertanggung-jawab secara sosial dan
ekonomis. Realitas di atas, dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan
oleh James Liebig, penulis Merchants of Vision. Dalam
penelitian itu, ia mewawancarai tokoh-tokoh bisnis di 14 negara. James
Liebig menemukan enam perspektif, yang umum berlaku, sbb: 1. Bertindak
sesuai etika, 2. Mempertinggi keadilan sosial, 3. Melindungi lingkungan, 4.
Pemberdayaan kreatifitas manusia, 5. Menentukan visi dan tujuan bisnis yang
bersifat sosial dan melibatkan para karyawan dalam membangun dunia bisnis yang
lebih baik, menghidupkan sifat kasih sayang dan pelayanan yang baik dalam
proses perusahaan, 6. Meninjau ulang pandangan klasik tentang paradigma ilmu
ekonomi yang bebas nilai. Perspektif di atas menunjukkan bahwa etika bisnis
yang selama ini jadi cita-cita, kini benar-benar menjadi mudah diwujudkan
sebagai kenyataan. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak etika dalam
dunia bisnis, bahkan kepatuhan kepada etika bisnis, sesungguhnya, bersifat
kondusif terhadap upaya meningkatkan keuntungan pengusaha atau pemilik modal.
Misalnya, para pengusaha sekarang, percaya bahwa kesenjangan gaji yang tidak
terlalu besar antara penerima gaji tertinggi dan terendah dan
fasilitas-fasilitas yang diterima oleh kedua kelompok karyawan ini, akan
mendorong peningkatan kinerja perusahaan secara menyeluruh. Karyawan yang dulu
cendrung dianggap sebagai sekrup dalam mesin besar perusahaan, kini
diberdayakan. Perempuan yang selam ini sering menjadi korban tuntutan
efisiensi, sekarang mendapatkan perhatian yang layak. Perusahaan-perusahaan
besar kinipun berlomba-lomba menampilkan citra diri yang sadar lingkungan,
bukan saja lingkungan fisik tetapi juga lingkungan sosial dan budaya. Jika di sarang
kapitalisme sendiri, (Amerika dan Eropa) telah mulai berkembang trend baru
bagi dunia bisnis, yaitu keniscayaan etika, (meskipun mungkin belum sempurna),
tentu kemunculannya lebih mungkin dan lebih dapat subur di negeri kita yang
dikenal agamis ini. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa eksistensi
etika dalam wacana bisnis merupakan keharusan yang tak terbantahkan. Dalam
situasi dunia bisnis membutuhkan etika, Islam sejak lebih 14 abad yang lalu,
telah menyerukan urgensi etika bagi aktivitas bisnis.
Islam Sumber Nilai dan Etika Islam merupakan sumber nilai dan
etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana
bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis.
Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan,
faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan,
masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika
sosio ekonomik menyangkut hak milik dan hubungan sosial. Aktivitas bisnis
merupakan bagian integral dari wacana ekonomi. Sistem ekonomi Islam berangkat
dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme
dan sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak
begitu tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Keringnya kedua
sistem itu dari wacana moralitas, karena keduanya memang tidak berangkat
dari etika, tetapi dari kepentingan (interest). Kapitalisme
berangkat dari kepentingan individu sedangkan sosialisme berangkat dari
kepentingan kolektif. Namun, kini mulai muncul era baru etika bisnis di
pusat-pusat kapitalisme. Suatu perkembangan baru yang menggembirakan.
Al-Qur’an sangat banyak mendorong manusia untuk
melakukan bisnis. (Qs. 62:10,). Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam bisnis
tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi
(QS. 4: 29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan
membuat administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282). Rasulullah sendiri
adalah seorang pedagang bereputasi international yang mendasarkan bangunan
bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi (transenden). Dengan dasar itu Nabi
membangun sistem ekonomi Islam yang tercerahkan. Prinsip-prinsip bisnis yang
ideal ternyata pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Realitas ini
menjadi bukti bagi banyak orang, bahwa tata ekonomi yang berkeadilan,
sebenarnya pernah terjadi, meski dalam lingkup nasional, negara Madinah.
Nilai, spirit dan ajaran yang dibawa Nabi itu, berguna untuk membangun tata
ekonomi baru, yang akhirnya terwujud dalam tata ekonomi dunia yang
berkeadilan. Syed Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu
Ekonomi: Suatu Sistesis Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi,
yaitu, tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan, tanggung jawab.
Tauhid, merupakan wacana teologis yang mendasari
segala aktivitas manusia, termasuk kegiatan bisnis. Tauhid menyadarkan manusia
sebagai makhluk ilahiyah, sosok makhluk yang bertuhan. Dengan demikian,
kegiatan bisnis manusia tidak terlepas dari pengawasan Tuhan, dan dalam rangka
melaksanakan titah Tuhan. (QS. 62:10)
Keseimbangan dan keadilan, berarti, bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil. Keseimbangan berarti tidak berlebihan (ekstrim) dalam mengejar keuntungan ekonomi (QS.7:31). Kepemilikan individu yang tak terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis, tidak dibenarkan. Dalam Islam, Harta mempunyai fungsi sosial yang kental (QS. 51:19)
Kebebasan, berarti, bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas, punya kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia bebas mengimplementasikan kaedah-kaedah Islam. Karena masalah ekonomi, termasuk kepada aspek mu’amalah, bukan ibadah, maka berlaku padanya kaedah umum, “Semua boleh kecuali yang dilarang”. Yang tidak boleh dalam Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan manusia sesungguynya tidak mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan. Pertanggungjawaban, berarti, bahwa manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung jawab moral kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta sebagai komoditi bisnis dalam Islam, adalah amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. PANDUAN NABI MUHAMMAD DALAM BISNIS.
Keseimbangan dan keadilan, berarti, bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil. Keseimbangan berarti tidak berlebihan (ekstrim) dalam mengejar keuntungan ekonomi (QS.7:31). Kepemilikan individu yang tak terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis, tidak dibenarkan. Dalam Islam, Harta mempunyai fungsi sosial yang kental (QS. 51:19)
Kebebasan, berarti, bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas, punya kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia bebas mengimplementasikan kaedah-kaedah Islam. Karena masalah ekonomi, termasuk kepada aspek mu’amalah, bukan ibadah, maka berlaku padanya kaedah umum, “Semua boleh kecuali yang dilarang”. Yang tidak boleh dalam Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan manusia sesungguynya tidak mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan. Pertanggungjawaban, berarti, bahwa manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung jawab moral kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta sebagai komoditi bisnis dalam Islam, adalah amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. PANDUAN NABI MUHAMMAD DALAM BISNIS.
Rasululah Saw, sangat banyak memberikan petunjuk
mengenai etika bisnis, di antaranya ialah: Pertama, bahwa prinsip esensial
dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat
fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan
kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: “Tidak
dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia
menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan
kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam
berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah
bawah dan barang baru di bagian atas. Kedua, kesadaran tentang signifikansi
sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar
mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak
ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun
(menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya,
berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran
memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang. Ketiga, tidak melakukan
sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para pelaku bisnis
melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah hadis
riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang
memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis riwayat Abu Zar,
Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang yang bersumpah palsu
dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti di hari kiamat (H.R.
Muslim). Praktek sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan,
karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya meningkatkan daya beli
atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh
berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah. Keempat, ramah-tamah . Seorang palaku
bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi Muhammad Saw
mengatakan, “Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis”
(H.R. Bukhari dan Tarmizi). Kelima, tidak boleh berpura-pura menawar dengan
harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut. Sabda
Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan bisnis najsya (seorang pembeli
tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat
untuk membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk membeli). Keenam, tidak
boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi
Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan
maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq
‘alaih).
Ketujuh, tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
Kedelapan, takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: “Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” ( QS. 83: 112). Kesembilan, Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”. Kesepuluh, membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakuan.
Kesebelas, tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam. Keduabelas, tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan secara cermat.
Ketigabelas, komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R. Jabir). Keempatbelas, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29). Kelimabelas, Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim). Keenambelas, Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim). Ketujuhbelas, bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah:: 278) Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
Ketujuh, tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
Kedelapan, takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: “Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” ( QS. 83: 112). Kesembilan, Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”. Kesepuluh, membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakuan.
Kesebelas, tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam. Keduabelas, tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan secara cermat.
Ketigabelas, komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R. Jabir). Keempatbelas, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29). Kelimabelas, Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim). Keenambelas, Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim). Ketujuhbelas, bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah:: 278) Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
Demikianlah sebagian etika bisnis dalam perspektif
Islam yang sempat diramu dari sumber ajaran Islam, baik yang bersumber dari
al-Qur’an maupun Sunnah.
Sumber: http://dahlia-etikabisnis.blogspot.com